BUPATI SIMALUNGUN SUMATERA UTARA
Lahan pertanian yang subur dan
luas menjadi modal utama Simalungun dan menjadikan daerah ini lumbung padi
terbesar kedua Sumatera Utara setelah Kabupaten
Deli Serdang. Terletak pada ketinggian 369 meter di atas permukaan laut,
Simalungun mampu menarik perhatian masyarakat luar sejak zaman kolonial. Itulah
yang menjadikan JR Saragih
sebagai Bupati Simalungun
JR Saragih lahir di Medan, 10
November 1968. Dia adalah anak bungsu dari kelima bersaudara. Saat usianya
belum genap satu tahun ia kehilangan sosok pemimpin di keluarganya yakni
ayahnya karena meninggal dunia. Kemudian JR Saragih dititipkan kepada neneknya (Ibunda dari
Ayahnya) yang tinggal di Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun sedangkan
saudara-saudaranya, bersama sang ibu di Desa Kutambaru. Bersama neneknya JR Saragih mengenyam
pendidikan sampai kelas 4 SD, namun ia juga harus kehilangan nenek tercintanya
yang harus berpulang ke Tuhan Yang Maha Kuasa. JR Saragih kemudian dibawa ibunya ke Kutambaru untuk
pendidikannya. Namun lagi-lagi, kesulitan ekonomi memaksa pendidikan JR Saragih harus tertunda,
saat ia duduk dikelas 6 SD.
Ketika itu ibunya telah menikah
kembali dengan Rasen Ginting. Dari pernikahan itu pula, JR Saragih mendapat tiga orang adik. Karena
putus sekolah, ia nekat meninggalkan Desa Kutambaru, dan merantau ke
Pematangsiantar seorang diri. Di kota Siantar Man ini, ia jadi tukang semir di
terminal. Selama 6 bulan tukang semir, JR Saragih menjadi pembantu kondektur bus untuk menyapu dan
membersihkan sebelum berangkat mencari penumpang. Ia terbiasa makan sesekali
sehari dan tidur di mobil di terminal. Dua tahun JR Saragih hidup di terminal sampai suatu hari ia
bertemu seorang supir. Pria itu menyarankan JR Saragih kembali ke sekolah, karena kehidupan
terminal tidak mempunyai prospek yang baik. Karena nasihat itu JR Saragih kemudian kembali
ke Kutambaru dan menamatkan SD-nya dalam program persamaan, dan melanjutkannya
ke SMP Anjangsana hingga tamat. Di sana, JR Saragih menggembala kuda dan beternak ayam.
Ia kemudian menggadaikan kedai
kopi milik keluarganya dan merantau ke Jakarta. Di Jakarta ia bekerja sebagai
kuli di galian pasir Puskopad di Curug, Tangerang, semula J.R.Saragih tinggal
di rumah abangnya yang tertua selama 6 bulan. Kemandirian yang telah tertanam
sejak belia, menjadikan JR
Saragih mengambil keputusan untuk hidup mandiri. Ia pun untuk memilih kos di Jakarta dan
melanjutkan pendidikan ke SMA-1 Prasasti di bilangan Kemayoran , Jakarta Pusat.
Cukup lama ia menjadi kuli galian
pasir, JR Saragih
mendapat tawaran bekerja paruh waktu di Pusat Primer Koperasi Mabes TNI AD.
Tawaran ini, ternyata menjadi titik balik kehidupan JR Saragih. Selama bekerja di situ, banyak
petinggi TNI AD, simpatik atas kegigihan JR Saragih bersekolah dan sikap pantang menyerah,
bekerja keras, dan kegigihannya.
Lulus dari SMA-1 Prasasti,Jakarta
Pusat, J.R.Saragih
memutuskan mencoba peruntungan dengan mengikuti tes Akademi Militer. Kerja kerasnya tidak sia-sia. Ia diterima
sebagai taruna di kampus Akademi Militer (Akmil) di lembah Tidar, Magelang,Jawa
Tengah yang dibiayai oleh negara.
JR Saragih menempuh pendidikan di Akmil Magelang dan
menamatkan pendidikan militernya pada tahun1990-an. Ia juga memperoleh beasiswa di Akademi
Beasiswa dari Akmil dan mempunyai
pangkat Letnan Dua. Selepas pendidikan selesai, ia langsung bertugas di
lingkungan Polisi Militer Angkatan Darat (POMAD). Ia ditugaskan komandannya
sebagai Dansubdenpom/Purwakarta, Jawa Barat. Ia juga dipercaya sebagai
Dandenpom dan menjadi salah satu personel elite Pasukan Pengaman Presiden
(Paspampres).
Pada tahun 2000 silam J.R.Saragih sebagai prajurit
muda memperoleh amanah baru. ia ditugaskan segagai Komandan Sub Detasemen
Polisi Militer (Dansubdenpom) di Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat
(Jabar). Satu titik perjalanan dalam hidupnya inilah, yang kemudian memuluskan
jalan lain untuk membuka pintu lebih lebar dalam kehidupan JR Saragih, anak desa yang
tak kenal menyerah atas takdir dan kenyataan hidup.Kehidupan keras yang ia
alami, menjadikan JR Saragih
mudah terketuk hatinya atas penderitaan orang lain. Khususnya mereka yang tidak
berpunya. Pada satu kesempatan J.R.Saragih
bertamu ke pendopo kabupaten dan berbincang akrab dengan Bupati Purwakarta saat
itu Bunyamin Dudih ,S.H. . J.R.Saragih
memperkenalkan diri seraya menjelaskan , bahwa hatinya terketuk untuk ikut
membantu kesulitan warga Purwakarta dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Ia
ingin memberikan andil secara nyata, yaitu dengan memberikan pelayanan kesehatan yang
terjangkau pada mereka.
Di kota Purwakarta ia mendirikan
sebuah klinik berbasis spesialis. Semula ia tidak mencari keuntungan dari
klinik ini. Karena tuntutan perekonomian, pemerintah mewajibkan membayar pajak,
dan karyawan harus mengikuti UMR dan sebagainya, akhirnya dibuatlah tarif tetap.
Berdirinya Rumah Sakit Efarina (Etaham) yang berada di Jalan Bungur Nomor 1
Purwakarta, adalah cikal bakal perkembangan bisnisnya yang bermula dari sebuah
klinik kecil di tahun 2000. Keseriusan, visi dan misi yang ia miliki tak
sia-sia. Tahun 2008, RS Efarina Etaham yang berawal dari klinik kecil,
memperoleh akreditasi RS tipe A dengan total karyawan berjumlah sekitar 300
orang, 120 orang di antaranya adalah dokter.
JR Saragih adalah tipe orang yang sayang keluarga.
Bermula dari pertemuan J.R. Saragih dengan dr. Ernita Angarini br. Tarigan
Girsang (putri dari pasangan Prof. dr. Pangarapan Tarigan, Sp.PD dan Rehna
Ginting) yang terbilang singkat. Mereka
berkenalan Desember 2001 melalui saudaranya. Setelah dua kali pertemuan, Juni
2002 mereka menikah. Lantas 16 Juli 2003, mereka dikaruniai seorang putri yang
diberi nama Efarina Margaretha Saragih.
Ia membuktikan kasih sayangnya
dengan simbol-simbol di nomor polisi di mobilnya. Di Jakarta, mereka memiliki
mobil Mercy dengan nomor polisi B 73 JR. (73 adalah tahun kelahiran istrinya,
sedangkan JR singkatan dari Jopinus Ramli). Sementara di Simalungun, mobilnya
bernomor polisi BK 167 JR, BK 167 DS, dan BK 167 SF. Angka 167 diambil dari
tanggal kelahiran putrinya, Efarina, yaitu 16 Juli.
Sebagai seorang pelaku usaha,
tentunya secara materi ia tidaklah kurang. Bukti nyata kerja keras dan pantang
menyerah, berbanding terbalik dengan kehidupan yang ia jalani saat kanak-kanak
dan juga remaja. Meski usahanya berkembang di tanah Parahiyangan, kegelisahan
sebagai seorang putera asli Sumatera Utara kian kerap mengetuk hati dan
nuraninya.
Pembangunan tanah Jawa yang ia
saksikan demikian pesat, tidak selaras dengan perkembangan yang ia lihat di
tanah kelahirannya. Nuraninya merasa terpanggil untuk membangun tanah kelahiran, ikatan emosional
yang tidak akan pernah pudar meski ia sudah berkelana ke bumi Pasundan.
Simalungun, tempat ia ditempa menjadi pribadi tangguh saat kecil, dengan budaya
dan karakteristik Sumatera Utara yang dikenal tangguh dan pekerja keras. Ia
ingin kembali, mengabdi dan berbakti ke tanah kelahiran yang ia cintai. Tanah
kelahiran yang ia kenal dengan budaya yang demikian kaya, dan menjadi memori
masa kanak-kanak dan akan terus terpatri dalam diri JR Saragih.
Darah dan nafasnya, seiring
perjalanan merantau ke belahan lain nusantara, adalah tetap di tanah
kelahirannya yang telah memberikan kesempatan untuk menghirup nafas, sekaligus
memberi pondasi awal pada makna kerja keras dan kedisiplinan.
Hal itulah yang mendorong dirinya
bertarung di tahun 2010 dengan maju ke arena pemilihan kepala daerah (Pilkada)
Kabupaten Simalungun, dipasangkan dengan Hj.Nurhayaty Damanik. dan akhirnya terpilih menjadi Bupati
Simalungun periode 2010-2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar